Republikbersuara.com, Batam – Nama seorang anggota polisi berinisial AS yang bertugas di Polsek Sagulung, Kota Batam, kini menjadi sorotan hangat publik. Ia resmi dilaporkan ke Bidang Profesi dan Pengamanan (Propam) Polda Kepulauan Riau atas dugaan pelanggaran kode etik kesusilaan serta tindak penganiayaan terhadap seorang perempuan berinisial FM. Laporan ini diajukan pada Senin, 22 September 2025, sekitar pukul 11.00 WIB, dan terdaftar dengan nomor SPSP2/41/IX/2025/Subbagyanduan.
Melalui kuasa hukumnya, yakni Lisman Hulu, Advokat Fery Hulu, Pengacara Martin Zega, dan Pengacara Leo Halawa, FM menyampaikan laporan tertulis yang menegaskan adanya unsur kekerasan fisik, psikis, serta pelecehan martabat perempuan. “Brigadir Polisi AS diduga kuat melanggar kode etik kesusilaan karena menghamili FM tanpa kepastian pernikahan, bahkan melakukan kekerasan fisik berulang kali hingga korban mengalami trauma mendalam,” ujar Lisman Hulu kepada Republikbersuara.com.
Awal Perkenalan dan Janji Pernikahan
Kisah ini berawal pada 22 Desember 2024, ketika AS pertama kali berkenalan dengan FM di Medan. Dari komunikasi yang intens, AS berhasil merayu FM dengan janji manis untuk segera menikahinya. Hubungan tersebut berkembang cepat, hingga FM dinyatakan hamil.
Dengan alasan persiapan pernikahan, AS membujuk FM untuk pindah ke Batam. Pada April 2025, FM akhirnya menetap di rumah seorang kerabat AS bernama Arga. Namun, bukannya menepati janji, AS justru mulai menghindar dan sering memberikan alasan untuk menunda pernikahan. Lebih buruk lagi, FM mengaku mulai menerima perlakuan kasar berupa caci maki, ancaman, dan tekanan psikologis yang terus-menerus.
Tragedi Keguguran dan Kekerasan Fisik
Puncak penderitaan FM terjadi pada 21 April 2025, saat ia terjatuh di kamar mandi dan mengalami pendarahan hebat. Peristiwa itu berujung pada keguguran kandungan pertamanya. Bukannya mendapat dukungan, FM justru mengalami keterasingan dan penelantaran emosional. Menurut kuasa hukum, AS sama sekali tidak memberikan dukungan moral maupun bantuan medis yang memadai, bahkan tetap melakukan kekerasan fisik terhadap FM meskipun kondisinya sedang rapuh.
Karena trauma yang semakin berat, FM memohon agar AS mengantarnya pulang ke Medan pada 6 Mei 2025 untuk dirawat oleh keluarganya. Dalam pertemuan dengan keluarga FM, AS sempat berjanji di hadapan orang tua korban untuk bertanggung jawab dengan menikahi FM. Namun janji itu kembali tidak ditepati.
Hamil Kembali, Janji Kembali Dilanggar
Setelah beberapa bulan di Medan, FM kembali hamil. Atas panggilan AS, ia kembali ke Batam dengan harapan bahwa rencana pernikahan akan benar-benar terlaksana. Namun kenyataan berkata lain. Rencana pernikahan kembali gagal, bahkan FM mengalami perlakuan yang lebih buruk.
Tidak hanya AS yang kerap menganiaya secara verbal dan fisik, orang tua AS juga disebut ikut menekan FM. Korban pernah dimarahi keras hingga merasa semakin terpuruk secara psikologis. Situasi ini membuat FM harus menjalani perawatan medis intensif akibat trauma dan kekerasan berulang. Catatan medis menunjukkan ia dirawat inap hingga empat kali di salah satu rumah sakit di Batam.
Suara Korban dan Kondisi Psikologis
Dalam kondisi trauma berat, FM tetap berusaha menyampaikan pernyataannya kepada awak media. Dengan suara terbata-bata, ia menuturkan rasa kecewa, sakit hati, dan penghinaan yang dialaminya.
“Saya merasa dipermainkan, ditinggalkan begitu saja. Bahkan sebelum menikah pun dia sudah menjalin hubungan dengan perempuan lain. Keluarga saya ikut dipermalukan,” ujar FM dengan air mata menetes.
Kuasa hukum menegaskan bahwa penderitaan FM tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga menyangkut martabat pribadi dan keluarganya. “Ini bukan sekadar janji yang diingkari. Ini adalah bentuk pelecehan terhadap harkat perempuan. AS sebagai aparat penegak hukum seharusnya memberi teladan, bukan justru mencoreng nama institusi,” kata Lisman Hulu.
(jim)
Komentar