Republikbersuara.com, Batam – Kasus kecelakaan kerja di galangan kapal PT ASL Shipyard yang terjadi pada Selasa, 24 Juni 2025 lalu, hingga kini masih menyisakan tanda tanya besar. Peristiwa tragis berupa kebakaran kapal tanker di kawasan Tanjunguncang, Batam, itu menewaskan empat orang pekerja dan membuat lima lainnya mengalami luka bakar serius
Empat bulan berselang, penanganan perkara ini dinilai sangat lamban. Penyidik Satreskrim Polresta Barelang baru menetapkan dua orang dari bagian Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), yakni A dan F, sebagai tersangka setelah gelar perkara internal. Meski demikian, proses hukum yang berjalan justru tidak menunjukkan kejelasan, bahkan berpotensi cacat prosedural karena Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) tidak segera disampaikan kepada pihak Kejaksaan.
Praktisi hukum, Rachmaihut Damanik, SH, MH, kepada Republikbersuara.com pada Sabtu (14/9/2025) menegaskan bahwa mandeknya SPDP dalam kasus ini bukan sekadar persoalan teknis, tetapi menyangkut hak-hak hukum para pihak. Ia menuturkan ada sejumlah dampak serius dari keterlambatan tersebut:
1. Cacat Prosedural
Keterlambatan penyampaian SPDP dalam waktu lebih dari tujuh hari sejak penetapan tersangka merupakan cacat formil. Hal ini bisa dijadikan dasar bagi tersangka maupun pihak terkait untuk mengajukan praperadilan.
2. Pelanggaran Hukum
Proses penyidikan yang tidak mengikuti ketentuan KUHAP terkait batas waktu SPDP jelas masuk kategori pelanggaran hukum. Penyidik dianggap tidak menjalankan kewajibannya secara penuh.
3. Pembatasan Peran Jaksa Penuntut Umum
Seharusnya jaksa berperan aktif mengawasi jalannya penyidikan. Namun dengan tidak adanya SPDP yang disampaikan tepat waktu, kontrol jaksa menjadi terhambat sehingga kasus ini berjalan tanpa pengawasan ketat dari penuntut umum.
4. Kurangnya Transparansi
Ketiadaan pemberitahuan resmi ke kejaksaan, korban, maupun pihak keluarga pekerja menjadikan proses ini terkesan tertutup. Akibatnya, publik pun meragukan keseriusan aparat dalam mengusut tuntas kasus yang menelan banyak korban jiwa.
5. Potensi Ketidakpastian Hukum
Dengan mandeknya SPDP, proses hukum semakin kabur. Kondisi ini bisa memperlambat jalannya perkara, bahkan berujung pada risiko penyidikan dinyatakan batal demi hukum.
Rachmaihut menegaskan, jika penyidik tidak segera menuntaskan kewajiban administratif, maka konsekuensinya sangat fatal. “Kalau SPDP mandek dapat menjadi dasar untuk praperadilan dan dapat menyebabkan penyidikan dianggap cacat secara formil,” ucapnya tegas.
Lebih jauh, Ihut sapaan akrabnya menyoroti langkah penyidik yang membebaskan A dan F melalui mekanisme penangguhan penahanan. Tindakan ini dinilai janggal karena dilakukan tanpa adanya koordinasi yang jelas dengan pihak kejaksaan. Hal tersebut, menurutnya, menimbulkan pertanyaan besar, bukan hanya di kalangan praktisi hukum, tetapi juga masyarakat luas yang menanti kepastian hukum dari kasus ini.
“Pertanyaannya, mengapa SPDP tidak kunjung diselesaikan, tetapi tersangka justru dibebaskan dengan penangguhan? Padahal ini perkara serius dengan korban meninggal dunia. Masyarakat berhak mendapatkan penjelasan transparan, bukan malah dibiarkan menggantung,” pungkasnya.
Kasus laka kerja PT ASL ini kini menjadi sorotan publik Batam dan Kepri. Banyak pihak mendesak agar kepolisian segera mempercepat proses penyidikan, menyampaikan SPDP sesuai aturan, dan menjelaskan alasan dibalik penangguhan penahanan terhadap dua tersangka. Tanpa langkah tegas, kepercayaan publik terhadap aparat penegak hukum dikhawatirkan semakin bobrok terhadap penyidik Satreskim Polresta Barelang dibawah kepimpinan Kasat Reskim Kompol M Debby Andrestian
(jim)
Komentar